Jumat, 20 Maret 2009

Baru Sekadar Sadar Potensi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 20 Maret 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/09250997/baru.sekadar.sadar.potensi

Oleh YURNALDI

Pulau Bali—dengan segala potensi wisata baharinya—memang sudah begitu mendunia. Begitu juga Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat. Sampai-sampai orang luar negeri lebih kenal Bali dan Mentawai ketimbang Indonesia. Ini mungkin aneh, tetapi begitulah kenyataannya.

ronisnya, di dalam negeri sendiri, masyarakat Indonesia (yang gemar berwisata) hanya kenal Bali dan Bunaken di Sulawesi Utara. Sedikit sekali yang kenal Mentawai. Di luar itu, mereka buta sama sekali akan potensi wisata bahari di tanah airnya sendiri. Kenapa ini bisa terjadi?

Bali dikenal luas, boleh jadi karena berkali-kali acara kenegaraan untuk tingkat internasional digelar di sana. Untuk pertama kalinya, Asian Beach Games digelar di Bali, Agustus 2008. Sukses sebagai penyelenggara dan sukses prestasi, meraih medali emas terbanyak. Berbagai event kepariwisataan tingkat nasional juga kerap dipusatkan di Bali.

Bunaken? Tanggal 11-15 Mei tahun ini akan digelar World Ocean Conference (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, yang akan diikuti 121 negara dan dihadiri enam kepala negara. Pascapenyelenggaraan WOC, yang diliput pers nasional dan internasional tersebut, diharapkan wisata bahari di Manado, khususnya Bunaken, akan lebih mendunia. Dan, memang, event tersebut akan dimanfaatkan untuk semakin mendorong promosi potensi wisata bahari Indonesia.

Tak salah slogan yang diusung adalah ”Mewujudkan Manado Kota Bahari Dunia 2010”. Agenda khusus dari WOC adalah membicarakan perubahan iklim laut dan bagaimana Indonesia mendapatkan hibah yang, kata Sekretaris Panitia WOC Indroyono Soesilo, telah terhimpun 250 juta dolar AS. Dana hibah dapat, promosi wisata bahari pun terangkat.

Pertanyaan yang bisa diajukan selanjutnya, apakah wisata bahari di Indonesia hanya Bali, Kepulauan Mentawai, dan Bunaken?

Ada ilustrasi yang menarik. Belum lama ini di Sumatera Barat, Ridwan Tulus dari Green Tourism Institute of Sumatra & Beyond dan Nofrins Napilus dari www.West-Sumatra.com mengundang sejumlah artis, antara lain Christine Hakim dan Katon Bagaskara, Ira Wibowo, Henidar Amroe, Tasman Taher, Tina Astari, dan Jian Batari. Sutradara Budhinova Restu dan produser Bambang Driasmoro juga turut serta. Kegiatan yang dilakukan para artis itu adalah melepas anak penyu hijau (tukik) dan menanam terumbu karang di Pulau Sikuai, kawasan wisata bahari di Kota Padang, sekitar 30 menit naik kapal dari Pelabuhan Bungus.

Apa yang terjadi? Menurut Ridawan Tulus, para artis kaget dan terkagum-kagum. Luar biasa eloknya alam Ranah Minangkabau, termasuk wisata baharinya. Tak kalah indahnya daripada Bali. Mereka menyesal, kenapa baru tahu sekarang potensi wisata bahari di Pulau Sikuai itu.

Christine Hakim akhirnya menggarap film yang sekaligus dimaksudkan untuk mempromosikan potensi pariwisata Sumatera Barat. Adapun Katon Bagaskara berjanji akan datang lagi untuk menggarap videoklip berlatar belakang rancaknya alam di kawasan Pulau Sikuai yang berpasir putih dan terumbu karang yang memesona.

Apa yang dialami Christine Hakim dan Katon Bagaskara, terlambat tahu dengan potensi wisata bahari di Kota Padang, khususnya di Pulau Sikuai, barangkali juga dialami banyak masyarakat lain. Lucu juga, dari sekitar 900.000 penduduk Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat itu, tak sampai 10 persen yang tahu keberadaan Pulau Sikuai dan mungkin tak sampai 1 persen yang pernah berkunjung ke sana.

Itu artinya, pemerintah memang belum begitu serius dan kreatif menggarap potensi wisata bahari. Tidak hanya di Padang, tetapi juga di kota-kota pantai lainnya di Indonesia.

”Potensi wisata bahari Indonesia sangat luar biasa. Indonesia kaya dengan sea, sand, dan sun. Ada 950 spesies terumbu karang, 8.500 spesies ikan tropis, 555 spesies rumput laut, 18 spesies padang lamun (sea grass), dan 81.000 kilometer coastlines, multycultural coastal communities,” kata Indroyono.

Begitu banyak kegiatan wisata bahari yang bisa dilakukan. Sebutlah seperti selam, selancar, layar, dayung, memancing, renang, renang selat, triathlon, upacara adat laut, dan ski air.

”Wisata bahari selama ini belum maju di Indonesia karena, pertama, aksesibilitas. Kedua, aksesibilitas, dan ketiga, aksesibilitas,” ungkap Indroyono.

Terlepas dari persoalan itu, Alex Retraubun, Direktur Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, membenarkan bahwa kekayaan wisata bahari Indonesia, khususnya wisata bahari pulau-pulau kecil, selama ini kurang mendapat perhatian. Pemerintah selalu memfokuskan ke Bali. Padahal, banyak contoh yang menunjukkan bahwa potensi wisata di pulau-pulau kecil luar biasa masifnya.

”Persoalannya sekarang adalah political will dari pemerintah untuk mewujudkan ini. Tidak cukup sebatas ngomong doang,” kata Alex Retraubun.

Masalah di balik potensi

Karena minimnya perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau kecil yang kaya potensi wisata baharinya itu, orang asing diam-diam mengeruk keuntungan besar. Mentawai maju dan menjadi tujuan utama wisata selancar karena yang menjualnya orang asing. Bahkan, ada di sebuah pulau di Kepulauan Mentawai, investor asing membangun hotel yang biaya menginapnya ratusan dollar AS per malam.

Wakatobi, seperti dikemukakan Son Diamar, Staf Ahli Bappenas, dikelola orang Amerika, yang membeli tanah di pulau itu sekitar Rp 50 juta. Ia bangun 20 cottage sederhana dari kayu beratap rumbia. Setahun revenue-nya mencapai Rp 50 miliar.

Menurut Son Diamar, ketika hal ini ditanyakan ke bupati, ternyata daerah hanya dapat Rp 50 juta. Hanya kurang dari 0,1 persen setahun, padahal orang asing dapat Rp 50 miliar. Bagaimana kesejahteraan rakyat? Rakyat dibeli tanahnya dengan murah, lalu jadi budak angkat-angkat barang, memanggul alas snorkeling diving dengan upah standar minimum provinsi. Menurut bupati setempat, kata Son Diamar, ada 20 lokasi lainnya seperti kasus Wakatobi ini.

”Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah sistematik untuk pengelolaan kekayaan negara di pulau-pulau kecil. Segera lakukan inventarisasi. Jangan sampai orang asing menguasai aset luar biasa bangsa ini,” ujarnya.

Sudah saatnya dilakukan pemantauan dan evaluasi setiap obyek yang dilakukan oleh pihak ketiga menggunakan aset bangsa ini. Pemerintah tak cukup bicara potensi, tetapi perlu juga dengan segara menyiapkan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia yang profesional. Setelah itu lakukan promosi dengan gencar dan buat sejumlah event. Tidak mungkin menjual sensasi wisata bahari tanpa promosi.

Namun, M Riza Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengungkapkan sejumlah konflik alokasi eksternal: perikanan versus pariwisata bahari, yang perlu mendapat perhatian serius.

Di Tomia, Wakatobi, misalnya. Ada konflik masyarakat nelayan dengan PT Wakatobi Dive Resort (Swiss). Masyarakat yang semula bebas melaut, oleh perusahaan asing yang mengelola wisata di sana dibatasi ruang geraknya. Ada pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap untuk kebutuhan dive point, dengan kompensasi Rp 5 juta per bulan untuk pembangunan infrastruktur desa. Terjadi penguasaan kawasan pantai Onemo Baa, yang sebelumnya menjadi area rekreasi komunitas Tomia. Bahkan, juga ada temuan, terjadi pencaplokan dan perampasan tanah, tanaman, dan bangunan komunitas untuk membangun Bandar udara Maranggo Tomia (Maranggo Air Strip).

Di Kepulauan Togian, Sulawesi Tengah, yang dikuasai PT Walea (Italia), juga ada konflik dengan masyarakat. Ada larangan untuk kegiatan perikanan tradisional sejauh 7 kilometer, dengan alasan konservasi. Di Pulau Komodo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, kata Damanik, juga terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan pengelola ekowisata di sana.

Karena itu, menurut Riza Damanik, pariwisata bahari tidak boleh dipandang sebagai komoditas industri. Komunitas nelayan dan masyarakat lain yang bergantung pada sumber daya laut, harus menjadi titik berangkat kegiatan pariwisata bahari.

”Inisiatif konservasi masyarakat perikanan tradisional harus dipahami sebagai inisiatif sadar masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melindungi sekaligus mendapatkan keuntungan dari sumber daya pesisir,” katanya.

Mencermati konflik di pulau-pulau yang menjadi tujuan wisata ini, sudah seharusnya Departemen Budpar duduk semeja dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, serta dengan pemangku kepentingan lain. Paradigma dan egoisme sektoral harus dihilangkan. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana konflik dicarikan solusinya, wisata bahari maju, masyarakat nelayan sejahtera, dan negara mendapatkan devisa.

[ Kembali ]

Wisata Bahari, untuk Siapa?

KOMPAS/LASTI KURNIA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 20 Maret 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/09212423/wisata.bahari.untuk.siapa

Tidak salah jika ada yang memberi julukan Indonesia sebagai ”surga dunia”. Keindahan alamnya yang tersebar di sekitar 17.500 pulau sangat memesona.

elain gunung dan hutan dengan tumbuhan yang sangat beragam, juga terdapat pantai yang terbentang sepanjang 81.000 kilometer atau setara 81 kali Jakarta-Surabaya. Di bawah lautnya yang terbentang seluas 22,4 juta kilometer persegi (km), terdapat hamparan terumbu karang seluas 75.000 km. Tidak kurang dari 950 spesies terumbu karang hidup di sana.

Di bawah laut juga terdapat sekitar 8.500 spesies ikan tropis. Potensi ikan untuk konsumsi seakan tak ada habisnya.

Mestinya dengan potensi alam yang luar biasa ini, Indonesia bisa maju meninggalkan negara-negara di sekitarnya. Masyarakatnya bisa makmur dan wisata bahari bisa berkembang. Namun, kenyataannya, jauh panggang dari api.

Jumlah penduduk miskin masih tetap tinggi, bahkan tak berkurang selama 20 tahun terakhir. Alih-alih berkurang, justru jumlah penduduk miskin makin bertambah di tengah kekayaan alam yang melimpah.

Jika tahun 1987 terdapat sekitar 30 juta penduduk miskin, saat ini setidaknya terdapat 33 juta penduduk miskin. Ironisnya, angka kemiskinan paling tinggi justru terdapat di sentra-sentra pertanian dan permukiman nelayan.

Kontribusi sektor perikanan juga sangat kecil, hanya sekitar tiga persen terhadap produk nasional bruto (GNP). Sangat tidak sebanding dengan potensi kelautan dan perikanan yang sangat berlimpah.

Modal minim

Kekayaan laut dan pesona laut yang luar biasa sebenarnya menjadi modal utama pengembangan wisata bahari. Pengembangan wisata bahari juga memiliki keunikan tersendiri.

Jika kegiatan wisata lain membutuhkan modal besar untuk pembangunan obyek wisata, maka dalam wisata bahari daya tarik utama justru pesona alam yang asli. ”Investor tidak perlu susah payah mengeluarkan modal besar untuk membangun obyek wisata. Daya tarik wisatanya sudah tersedia berupa pesona alam,” kata Direktur Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Alex Retraubun.

Kalaupun membangun fasilitas, berupa cottages atau tempat peristirahatan, tidak perlu modal besar karena biasanya wisatawan menyukai tempat peristirahatan yang alami, bukan berupa hotel mewah. Namun, tarifnya setara dengan tarif hotel bintang lima dan tak pernah sepi peminat.

Di Wakatobi, misalnya, tersedia resort yang atapnya dari rumbia dan dindingnya sederhana. Namun, 11 kamar yang ada di resort itu tak pernah sepi wisatawan mancanegara dan bisa menghasilkan Rp 22 miliar setahun. ”Kesunyian, keterisolasian, serta keindahan terumbu karang dan ikan hias itulah yang menjadi daya tarik wisatawan,” kata Alex Retraubun.

Potensi alam seperti ini tidaklah sedikit. Di Indonesia setidaknya ada 59 lokasi selam yang sangat menawan. Karena keterbatasan infrastruktur, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata baru menawarkan 13 lokasi, di antaranya Nias, Mentawai, Ujung Kulon dan Anak Krakatau, Batam Rempang dan Galang, Riau Kepulauan, dan Kepulauan Seribu di DKI Jakarta.

”Ke-13 lokasi ini harus betul-betul dijaga, termasuk dari kerusakan akibat pengeboman ikan,” kata Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Indroyono Soesilo.

Selain menjaga, hal yang sangat penting untuk mengembangkan pariwisata di 13 lokasi itu adalah menyediakan infrastruktur yang memadai. ”Meskipun alamnya indah, jika tidak ada pelabuhan yang memadai atau infrastrukturnya terbatas, tidak ada wisatawan yang ke sana,” kata Indroyono.

Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah menjaga lingkungan obyek wisata tersebut agar tidak rusak. ”Konservasi adalah faktor mutlak dalam pengembangan wisata bahari,” kata Didien Junaedy, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gahawisri).

Sayang, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) untuk wisata bahari hingga saat ini masih minim. Berdasarkan catatan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, jumlah wisman bahari baru sekitar 38,8 persen dari sekitar 6,7 juta wisatawan yang diklaim datang ke Indonesia.

Kurang serius

Pengelolaan wisata bahari memang terkesan kurang serius dilakukan pemerintah. ”Bahkan pemerintah terkesan tidak mempunyai cetak biru pengelolaan wisata bahari. Pembangunan infrastruktur tidak optimal serta koordinasi antarinstansi pemerintah masih sangat lemah,” kata Didien.

Pemerintah daerah dan masyarakat lokal pun seperti tidak dilibatkan dan tidak mendapat manfaat dari keberadaan obyek wisata bahari.

”Padahal, mestinya, wisata bahari bisa memberikan pendapatan yang layak buat pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Tradisi masyarakat sekitar juga harus tetap terpelihara. Itu yang kami inginkan,” kata Henky Hermantoro, Kepala Puslitbang Pariwisata Depbudpar.

Di sisi lain, menurut Son Diamar, koordinasi antarinstansi pemerintah juga kurang terpadu sehingga merugikan pengembangan wisata bahari. Sebagai contoh, dalam rangka mempromosikan pariwisata, hampir setiap tahun diadakan ”Sail Indonesia” yang diikuti sekitar 100 yachts dari 20 negara. Start dari Darwin Australia, masuk Indonesia di Kupang, lalu menjelajahi Nusa Tenggara Timur, Bali, serta pulau besar-kecil lainnya, dan finish di Batam.

Yachters yang kebanyakan orang kaya disuguhi pesona alam Indonesia, kekayaan budaya masyarakat, dan makanan khas di sepanjang perjalanan. Tapi, tahun 2008 kapal-kapal layar yachts sempat ”ditahan” karena dianggap ”barang selundupan” oleh Bea dan Cukai.

Kapal-kapal itu boleh masuk Indonesia dan keluar lagi jika mau diperlakukan sebagai ”barang impor sementara”, dan membayar sampai 50 persen dari harga kapal. Ada pemilik kapal yang harus membayar Rp 3 miliar dan dijanjikan di pelabuhan keluar nanti uangnya dikembalikan.

”Tentu saja memalukan karena di negara lain tidak ada aturan seperti itu karena kapal bukan barang. Inilah contoh bagaimana antarinstansi pemerintah masih kurang terpadu dan terkoordinasi dalam pengembangan wisata bahari,” kata Son Diamar, staf ahli di Bappenas.

Riza Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyoroti dirugikannya masyarakat sekitar obyek wisata saat dilakukannya pengembangan wisata bahari. Bukannya diberdayakan, nelayan dan masyarakat sekitar obyek wisata malah tidak bebas lagi melakukan kegiatan, setelah adanya obyek wisata bahari. Pembatasan oleh aparat birokrasi ini karena khawatir kegiatan nelayan bisa mengganggu kenyamanan wisatawan.

”Padahal mestinya masyarakat nelayan diberdayakan,” kata Riza Damanik. Jika demikian, memang menjadi pertanyaan. Buat siapa wisata bahari dikembangkan? (Try Harijono)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Menjual Potensi Pulau Kalimantan

KOMPAS/M SYAIFULLAH / Kompas Images
Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menjadi salah satu tempat terbaik untuk ekowisata di Kalimantan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso

Hutan tropis beserta keanekaragaman hayati di tengah daratan Pulau Kalimantan atau Borneo diyakini masih lestari sebab hanya sedikit yang terjamah. Namun, kehidupan manusia di Jantung Kalimantan atau Heart of Borneo di perbatasan Indonesia-Malaysia belum lepas dari kesusahan.

Perhatian dan kemajuan pembangunan enggan mendatangi rakyat yang bermukim tersebar dan terpencil di pelosok hutan, pegunungan, dan aliran sungai. Bisa dipahami kehidupan mereka kerap disebut miskin dan tertinggal.

Namun, masyarakat di sana sebenarnya berhak menikmati kemajuan seperti yang kita rasakan. Tidak pantas wilayah pedalaman yang sejatinya merupakan ”halaman depan” negara malah berantakan.

Bagaimana caranya mengatasi kondisi tadi? Apakah pariwisata solusinya? Dua pertanyaan itu coba dijawab lewat Lokakarya Internasional Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata di Jantung Kalimantan, 5-7 Agustus lalu di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Komitmen

Jantung Kalimantan ialah komitmen Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam pada Februari 2007. Ketiga negara sepakat melestarikan 22 juta hektar hutan tropis di dataran tinggi di tengah pulau atau bolehlah disebut pedalaman yang sekaligus perbatasan antardaerah bahkan antarnegara.

Dataran tinggi itu, misalnya, Pegunungan Iban di wilayah antara Kaltim (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia). Pegunungan Schwanner antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Pegunungan Muller antara Kaltim dan Kalbar, serta Pegunungan Meratus antara Kaltim, Kalteng, dan Kalimantan Selatan.

Semua pegunungan itu tempat mata air sungai-sungai besar Kalimantan, seperti Sungai Mahakam di Kaltim, Kapuas di Kalbar, serta Barito di Kalteng dan Kalsel. Di tepi sungai-sungai itu bermukim ratusan ribu orang yang merupakan keturunan masyarakat adat yang secara generik disebut suku Dayak.

Indonesia berkomitmen menjaga 12,6 juta hektar Jantung Kalimantan, yaitu 6,1 juta hektar di Kaltim, 4,1 juta hektar di Kalbar, dan 2,4 juta hektar di Kalteng.

Menurut The Ecology of Kalimantan, 1996, Borneo yang luasnya 746.405 kilometer persegi merupakan pulau terbesar ketiga di dunia. Pulau paling besar adalah Greenland (2.175.600 kilometer persegi), Denmark; disusul Papua Niugini, termasuk Papua dan Papua Barat di Indonesia (808.510 kilometer persegi).

Borneo ditaksir mengandung 15.000 spesies tumbuhan yang 6.000 di antaranya tidak ditemukan di tempat lain (endemik), menurut Biodiscoveries Borneo’s Botanical Secret terbitan World Wild Fund for Nature (WWF) 2006. Selain itu, menurut Borneo’s Lost World terbitan WWF (2005), diduga ada 620 spesies burung dan 221 mamalia. Dalam 10 tahun terakhir ini ditemukan 361 spesies baru atau tiga spesies setiap bulan.

Semua itu belum termasuk kekayaan lain seperti air terjun dan perkampungan berikut kebudayaan, bahkan peninggalan orang Dayak. Untuk itu, Jantung Kalimantan tampaknya amat potensial ”dijual” sebagai obyek wisata.

Tren alam

Dalam lokakarya mengemuka model pariwisata cenderung tertarik ke alam. Ekowisata menempatkan alam dan budaya sebagai nilai jual sekaligus mendukung pelestarian alam. Ekowisata diyakini mampu menjawab minat wisata alam, bahkan menunjukkan bahwa kepentingan konservasi bisa selaras dengan ekonomi.

”Peningkatan kesejahteraan rakyat amat mungkin dilakukan lewat ekowisata,” kata Direktur Eksekutif WWF Indonesia Mubariq Ahmad.

Sejumlah proyek percontohan ekowisata yang bertumpu pada rakyat sedang dikembangkan di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di Kalbar dan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) di Kaltim.

Turis bisa datang ke obyek wisata dengan panduan warga. Turis juga bisa menikmati keseharian hidup rakyat dengan tinggal sementara di perkampungan mereka. Tentunya turis membayar semua jasa tadi, misalnya transportasi dan pengantaran ke obyek wisata, pengangkutan barang, penginapan di rumah warga, hingga makanan.

Ketua Kelompok Kerja Nasional Jantung Kalimantan Departemen Kehutanan Samedi sepakat tren sedang bergeser dari pariwisata massal mendatangi obyek wisata ke yang eksklusif, yakni menikmati petualangan alam dan adat rakyat.

”Ekowisata bahkan bisa membalikkan pandangan dunia yang negatif tentang Borneo,” kata Albert Theo, praktisi pariwisata Malaysia.

Theo yang hampir 20 tahun menggeluti pariwisata Borneo miris sebab dunia menilai Kalimantan cuma sebagai tempat tersisanya orangutan yang kian kehilangan habitat (hutan) akibat dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, pertambangan, atau musnah akibat kebakaran.

”Dunia belum melihat Borneo sebagai tujuan wisata yang eksotik dan berkelas dunia,” kata Theo bersemangat.

Di sisi lain, perkembangan pariwisata sebenarnya menggembirakan. Di tataran global, sektor ini menyumbang 3,6 persen PDRB dunia yang setara 1,85 triliun dollar AS dan menyerap 231,2 juta pekerja. Di tataran nasional, menurut Indonesian Tourism Statistic 2007, ada 4,8 juta turis asing ke Indonesia pada tahun 2006 sehingga negara bisa meraup devisa 4,45 miliar dollar AS.

Bupati Malinau Marthin Billa mendukung ekowisata sebagai penggerak ekonomi daerahnya yang mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi. ”Ekowisata ialah industri ramah lingkungan,” katanya.

Namun, Samedi mengingatkan, pengembangan pariwisata rentan merusak alam bila suatu obyek wisata didatangi secara massal. Pengembangannya bahkan bisa terbentur persoalan pembangunan fasilitas untuk kenyamanan turis di obyek wisata, tetapi mengorbankan kelestarian alam.

Pariwisata, lanjut Samedi, memang berpotensi membantu rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun, itu bergantung pada seberapa besar rakyat mendapat manfaat atau kasarnya uang. Bila uang yang didapat diputar untuk peningkatan usaha cuma sedikit, kesejahteraan tampaknya masih sulit tercapai.

Untuk itu, pengembangan pariwisata harus digalakkan lewat kerja sama antarnegara. Tiap negara perlu mengatasi keterbatasan transportasi dan akomodasi. Promosi sebaiknya terpadu sehingga turis mau mendatangi obyek-obyek wisata di ketiga negara. ”Jangan memikirkan diri sendiri,” kata Irham Ilyas, praktisi pariwisata Indonesia.

[ Kembali ]